Negeri Dampoawang

Secara geografis, Lasem merupakan daerah pantai dan pesisir. Sehingga pelabuhan-pelabuhan dengan laut Jawa yang tidak berombak besar memungkin kapal-kapal besar singgah di sana. Sementara di sebelah selatan terdapat gunung-gunung dan lembah yang subur, dibelah oleh sungai Babagan, sarana tranportasi masa lalu. Pegunungan Lasem dengan puncak yang dinamai Argopuro menghasilkan kayu-kayu berkualitas baik, terutama untuk pembuatan kapal. Dengan kondisi yang pantas, sastrawan melukiskan Lasem sebagai: Negeri panjang apunjung, gemah ripah loh jinawi, karta tur raharja, dasar negeri hangirengaken patigilan, hanengenaken pasabean, hangungkuraken wono babanjengan serto pegunungan, tuwih hangajengaken samudra lan bandaran ageng (sebuah negeri yang membentang luas, subur makmur, ramai dan sentosa, dan memenuhi syarat sebuah negeri yang disekitarnya diliputi perkebunan dan persawahan, di belakangnya adalah hutan yang lebat dan pegunungan, serta menghadapkan lautan dengan Bandar yang besar).

Kerajaan Lasem menjadi negeri vassal Wilwatikta disebutkan dalam piagam Singosari tahun 1273 Saka atau 1351 Masehi. Raja pertamanya adalah Ratu Duhitendu Dewi dengan gelar Bhre Lasem, saudara sepupu Raja Hayam Wuruk.

Pada masa pemerintahan Tribhuana Tungga Dewi, Lasem belum merupakan sebuah kerajaan. Namun demikian, bukan berarti Lasem menunjukkan bahwa Lasem adalah daerah yang tidak penting. Di dalam kitab Negara Kertagama, ketika Mahapati hendak melengserkan Mpu Nambi sebagai Patih Amangkubumi, disebutkan Ra Lasem turut serta gugur dalam membela Lumajang. Dengan kata lain, Lasem sudah menjadi daerah penting sebelum ada piagam Singosari tersebut.

Selain itu, Lasem adalah termasuk 11 kerajaan khusus di Jawa yang disebutkan di dalam kitab Negara Kertagama. Bahkan, Bhre Lasem Duhitendu Dewi termasuk salah satu dari sembilan orang anggota Dewan Pertimbangan Agung di Wilwatikta. Jika kerajaan-kerajaan lain diatur dalam sebuah perjanjian dengan Wilwatikta, maka sebelas kerajaan khusus tersebut merupakan penopang kesetabilan ekonomi dan politik dengan mengangkat raja dari keluarga terdekat. Sebagaimana disebutkan di dalam Negara Kertagama pupuh VI:

  1. Telah dinobatkan sebagai raja, lelaki tangkas Rani Lasem sebagai raja daerah Metahun. Bergelar Rajasawardana.
  2. Sri Singawardana, rupawan, bagus, muda, sopan, dan perwira. Bergelar Raja Paguhan, suami Rani Pajang. Mulia pernikahannya laksana Sanatkumara dan Dewi Ida.
  3. Bhre Lasem menurunkan puteri jelita Nagarawardani. Bersemayam sebagai permaisuri Pangeran di Wirabumi. Rani Pajang menurunkan Bhre Mataram Sri Wikramawardana. Bagaikan titisan Hyang Kumara, wakil utama Sri Narendra.
  4. Puteri bungsu Rani Pajang memerintah daerah Pawanuhan. Berjuluk Surawardani, masih muda indah laksana lukisan. Para raja pulau Jawa masing-masing mempunyai Negara. Dan Wilwatikta tempat mereka bersama menghamba Sri Nata.

Sumber : M. Akrom Unjiya, Lasem Negeri Dampoawang Sejarah yang terlupakan (Yogyakarta: Salmaide, 2014).

Begitu pula di dalam kitab Pararaton disebutkan: adik perempuan Hayam Wuruk, Bhre Lasem, menikah dengan Raja Matahun, Rajasawardhana. Sedangkan adik termuda, Bhre Pajang, menikah dengan Raja Paguhan Singawardhana. Bhre Lasem menurunkan puteri bernama Nagarawardhani, yang kemudian dinikahkan dengan putera selir Hayam Wuruk, Bhre Wirabhumi. Sementara, Bhre pajang menurunkan puteri Surawardhani yang memerintah Pawanuhan dan Wikramawardhana alias Bhre Mataram. Bhre Mataram menikah dengan Kusumawardhani, anak gadis Hayam Wuruk dari isteri Indudewi, puteri Wijayarajasa. Pararaton menyebut Kusumawardhani sebagai Bhre Lasem Jeng Ahayu.

Wilayah Kerajaan Lasem membujur dari pantai utara Jawa sampai ke selatan laut Jawa. Di sebelah timur, sepanjang liaran sungai Bengawan Solo hingga berm uara di Sedayu Gresik, sedangkan di sebelah selatan meliputi kawasan pantai selatan di Pacitan dan sebelah barat Kerajaan Pajang.

Bhre Lasem Duhitendu Dewi

Ia menikah dengan Rajasa Wardhana, penguasa Metahun. Dengan demikian, dua kerajaan khusus yang disebutkan dalam Negara Kertagama menyatu dalam hubungan perkawinan. Selain sebagai penguasa, Rajasa Wardhana adalah seorang petinggi militer angkatan laut Wilwatikta yang berpangkalan di pelabuhan Lasem, di teluk Regol (Bonang Binangun) dan Kairingan (pantai Caruban). Di samping, Rajasa Wardhana adalah juga Dampoawang (syahbandar) pelabuhan.

Bhre Lasem Duhitendu (Bhre Bathari), di samping disebutkan namanya di Piagam Singosari, sering pula disebutkan di dalam naskah-naskah kuno yang lain.

Dalam naskah Cerita Lasem yang ditulis oleh Raden Panji Kamzah dengan bahasa Jawa Ngoko, tahun 1858, dan ditulis ulang oleh Raden Panji Karsono tahun 1920 diceritakan masa-masa kejayaan, keindahan, kedamaian, dan kemakmuran Kerajaan Lasem. Disebutkan, Lasem adalah kota raja yang nyaman, tertata dengan asri dan indah. Keratonnya di bumi Kriyan menghadap kea rah laut dengan agungnya. Di dalamnya terdapat kompleks-kompleks bangunan, balai kambang, taman kamala putrid, dan taman sari. Di sepanjang jalan negeri terdapat pepohonan, mandiri, dan sawo kecik. Di setiap perempatan jalan terdapat pohon beringin yang rindang.

Di bawah kekuasaan Rajasa Wardhana, kejayaan maritim Wilwatikta berkembang pesat. Dua pelabuhan penting di Lasem (Regol dan Kairingan) dijadikan pangkalan utama kapal-kapal tempur dan ekspedisi. Di samping, terdapat galangan yang memproduksi kapal-kapal. Beberapa naskah asing negeri China menyebutkan, pelabuhan Lasem sejak dahulu telah menjadi dermaga perdagangan antar negeri yang sangat sibuk, selain Sidayu dan Pekalongan.

Bhre Lasem Duhitendu Dewi meninggal pada tahun 1382 Masehi, sedangkan suaminya Rajasa Wardhana tahun 1383 Masehi. Jasad keduanya diperabukan di Candi Malad, berada di sebelah utara gunung Argasoka.

Bhre Lasem Duhitendu Dewi sebelum meninggal telah digantikan oleh Kusuma Wardhani, puteri Hayam Wuruk yang diperistri Wikrama Wardhana. Saat pergantian itu, Bhre Lasem dipindahkan menjadi penguasa Kediri, menggantikan ibunya Dyah Wiyat Raja Dewi. Namun, tidak disebutkan secara pasti angka tahunnya di dalam naskah Negara Kertagama, Pararaton, dan Cerita Lasem.

Namun demikian, Lasem sudah menjadi pusat kerajaan sebagaimana telah disebutkan di dalam Piagam Singosari tahun 1351 Masehi. Sebagai pusat pemerintahan, tempat industri dan perdagangan, hingga berlanjut pada masa Hindia Belanda abad ke-20.

Lasem sebagai Wilayah Rebutan

Kekuasaan Kusuma Wardhani di Lasem tidak berlangsung lama, karena hal ini dipengaruhi oleh gejolak politik perebutan kekuasaan di Wilwatikta. Sejarah Lasem tidak banyak disebut di dalam Kakawin Negara Kertagama, karena belum ditulis.

Sebagaimana di kerajaan Wilwatikta sudah bermunculan benih-benih perseteruan antara Prabu Hayam Wuruk dan keponakan sekaligus menantunya, Wikrama Wardhana yang menikah dengan Kusuma Wardhani dari Permaisuri Paduka Sori. Maka, Bhre Wirabhumi (penguasa Wirabhumi, Blambangan) juga merupakan putera Hayam Wuruk dari dari isteri selir yang menjadi putera angkat sekaligus cucu menantu Bhre Daha, Dyah Wiyat Rajadewi dan Wijaya Rajasa. Antara Bhre Wirabhumi dan Wikrama Wardhana merasa paling berhak atas tahta maharaja di Wilwatikta.

Dengan kata lain, antara keponakan sekaligus putera menantu dan putera selir terjadi perebutan pengaruh dan kekuasaan. Meskipun sebab-sebabnya masih perlu diteliti ulang dari aspek sosio-politik. Hal ini diperkuat pula oleh berita China dari Dinasti Ming tahun 1377 Masehi, ada utusan dari Jawa yang mengatasnamakan kerajaan merdeka. Di dalam kronik tersebut disebutkan: Wu lao po wu di Barat dan Wu lao wang chieh di timur. Adapun yang dimaksud adalah Bhra Prabu (Hayam Wuruk) dan Bhre Wengker (Wijaya Rajasa).

Pemicu dari perseteruan hingga mengakibatkan peperangan adalah perebutan wilayah kekuasaan di Lasem yang luas, karena Wikrama Wardhana, pengganti Hayam Wuruk mengangkat Kusuma Wardhani sebagai Bhre Lasem II. Padahal, menurut Bhre Wirabhumi yang menggantikan tahta ayahnya Wijaya Wardhana di wilayah timur, yang paling berhak adalah isterinya, Negara Wardhani puteri Bhre Lasem Duhitendu Dewi. Dengan demikian, dapat dimengerti jika kekuasaan Bhre Lasem Kusuma Wardhani tidak berlangsung lama dan digantikan oleh Nagara Wardhani. Hanya saja, perseteruan ini masih dalam batas perang dingin, bukan peperangan fisik.

Namun, perseteruan ini kian memanas, ketika Wikrama Wardhana mengangkat menantunya, isteri Bhre Tumapel (Kertawijaya), sebagai Bhre Lasem ke-4. Perseteruan berlanjut hingga terkenal dengan sebutan Perang Paregreg (1404 – 1406) antara kerajaan timur dan barat. Dinamakan paregreg, karena peperangan berlangsung secara bertahap. Diambil dari bahasa Jawa Kawi, berarti perang yang terjadi setahap demi setahap, terus menerus dalam tempo yang lambat. Meskipun demikian, perang yang tidak terlalu besar ini telah menguras banyak energy dan kejayaan Wilwatikta.

Akibat dari Perang Paregreg tersebut, meskipun Wikrama Wardhana memenangkannya, namun ia menyisakan hutang ganti rugi yang besar kepada Dinasti Ming di China. Pada saat itu, Laksamana Chen Ho datang untuk mendamaikan kedua belah pihak, namun ketika tiba di istana timur, sebanyak 170 orangnya terbunuh. Atas kecelakaan tersebut, Wikrama Wardhana harus membayar denda ganti rugi sebesar 600.000 tail. Sampai tahun 1408, baru bias dibayar 10.000 tail. Akhirnya, Kaisar Yung Lo membebaskan sisasnya. Hal ini dicatat oleh Ma Huan (sekretaris Cheng Ho) dalam bukunya, Ying ya sheng lan.

Makutapraba: Mustika Masjid Jami’ Lasem
Makutapraba merupakan simbol kebijaksanaan & keagungan Masjid Jami’ Lasem. Bentuknya yang mirip barongan bergaya Hindu mencerminkan adanya pengaruh Jawa Kuno. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah & ulama saat itu mempunyai pribadi yang plural & menghormati budaya setempat. Mustika masjid ini sudah ada sejak awal berdirinya masjid Jami’ Lasem, 1588 M.
Makutapraba sempat tergeletak begitu saja di gudang bersama pacul, linggis, dan perkakas lainnya pasca renovasi masjid pada tahun 2005 sehingga ada beberapa bagiannya yang pecah, namun kini sudah ditambal dan disimpan di ruangan bagian belakang masjid bersama artefak lainnya.
Atas kepedulian beberapa pihak, maka dibuatkanlah kerangkeng besi sebagai tempatnya (lihat gambar). Bentuk barongan seperti Makutapraba juga dapat kita lihat pada kusen atas bangunan utama masjid. Bahkan menurut pengakuan penjaga masjid, saat renovasi terdapat sejumlah pahatan bertuliskan aksara Jawa tp sudah diberi pewarna sehingga menghilangkan bentuk aslinya.

Prasasti Perang Sabil 1751 M

Artinya: Selesai shalat Jum’at di Masjid Jami’ Lasem yang diimami oleh Kyai Ali Baidawi, lalu diumumkan kepada seluruh umat Islam, (mereka) diajak perang Sabil untuk memusnahkan/ melawan Kompeni Belanda.

Diceritakan dalam ‘Badra, 1985: 36’, bahwa pada saat perlawanan masyarakat Lasem terhadap penjajah, tak bisa lepas dari kontribusi Kyai Baidawi dan santri-santrinya. Laskar santri/ Bala Sabil yang dipimpin oleh Kyai Baidawi saat itu bersatu dengan pasukan yang dipimpin oleh Tan Khe Oey, Oei Ing Kiat, dan Panji Margana.

Monumen/ Prasasti Perang Sabil 1751 M pada gambar di atas, bersumber dari Babad Lasem. Bagi anda yang gemar dengan wisata religi, jangan lupa mampir di Masjid Jami’ Lasem ya, letaknya berada di belakang masjid, satu kompleks dengan Mustika Makutapraba dan artefak-artefak lainnya.

 Rembang, 8 April 2016.

==========================

M. Sakdillah (author, director, and culture activities).

Categories: Laporan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *