Persoalan kebudayaan kita belum pernah selesai sejak dahulu. Bahkan telah berlangsung sebelum Polemik Kebudayaan tahun 1930-an.

Mohamad Sobary
Budayawan, Mantan Pemimpin Umum Kantor Berita Antara
foto koleksi Youtube.com gayatrimedia.co.id

Akar Kebudayaan

Jika Mohammad Sobary menyebut “belum pernah selesai”, maka saya akan katakan “tidak akan pernah selesai” senyampang nafsu masih berbicara.

Pada dasarnya, kebudayaan itu lentur senyampang bisa diterima dengan lapang.

Namun demikian, setidaknya bisa digarisbawahi: dari dua pandangan akar polemik yang mengemuka di era ’30an tersebut; untuk menjadi bangsa yang besar dan maju secara budaya harus menjadikan Barat sebagai acuan dan anggapan untuk maju ke depan bangsa ini seharusnya melihat ke belakang pada budaya dan tradisi yang telah mengakar selama berabad-abad. Maka, harus pula dicari jalan keluar sebagai konklusi dari kedua arus polemik tersebut.

Sang Hyang Kamahayanikan

Masyarakat Nusantara (sebelum Indonesia) telah mengenal polemik kebudayaan sejak lama. Hal demikian ditandai dengan polemik terhadap tafsir-tafsir dan cara kerja atau mekanisme praktik-praktik keagamaan.

Hal ini dikemukakan oleh Radhar Panca Dahana secara implisit

Pada dasarnya, Indonesia sebagai negara kepulauan atau bahari memiliki ciri kebudayaan yang berbeda dengan negara daratan atau kontinental. Di negara kontinental, yang diagungkan adalah yang wujudnya berada di posisi lebih tinggi dan biasanya berbentuk piramida menyerupai gunung. Yang berada di puncak tinggi lebih mulia daripada yang berada di bawah. Ciri utama kebudayaan kontinental ada tingkatan, yang tinggi dengan yang rendah.

Masyarakat Nusantara yang seharusnya menganut “konsep” kebudayaan bahari dipaksa untuk menerima kebudayaan daratan sebagaimana kisah Mahabharata dan Ramayana yang melibatkan perang saudara dan perang kebudayaan. Sentimen dan perlawanan selalu menjadi motif dari sebuah polemik.

Hal itu tak ada pada kebudayaan bahari. Seperti laut yang tampak bak garis lurus horizontal jadi keseharian hidup masyarakat bahari, ciri utamanya adalah egaliter. Orang-orang yang dekat dengan laut adalah orang yang memiliki sifat dasar terbuka serta mau menerima perbedaan.

Masyarakat bahari sebenarnya sudah tergambar pada relief-relief candi Borobudur. Kapal-kapal yang mewarnai relief-relief tersebut menggambarkan konsep dan paradigma bahari merupakan jalan perdamaian yang tercipta di Indonesia.

Keragaman yang muncul dari konsekuensi penerapan konsep daratan sebagaimana tergambar di dalam candi Prambanan yang mengisahkan tentang Ramayana: telah terjadi tempuran budaya atas dan bawah. Yang seharusnya tidak terjadi.

Kitab Sang Hyang Kamahayanikan merupakan terjemahan dari struktur bangunan candi Borobudur yang terlebih dahulu hadir daripada candi Prambanan.

Intisari dari kitab Sang Hyang Kamahayanikan adalah ajaran Tantrayana. Ajaran yang mengajarkan tentang Hyang esensi. Di dalam praktiknya, antara ajaran-ajaran Syiwa dan Buddha memiliki esensi yang sama.

Dalam kepercayaan Tantrayana ini mengenal adanya laku meditasi dengan menggunakan alat berupa mandala (bagi penganut Buddha) atau yantra (bagi penganut Hindu). Mandala adalah variasi lain yang bercorak Buddha dari apa yang disebut yantra oleh penganut Hindu, yakni berupa lukisan yang berfungsi sebagai alat bantu dalam meditasi sehari-hari.

Kitab Sang Hyang Kamahayanikan disusun antara tahun 929-947 Masehi oleh Mpu Shri Sambhara Surya Warama pada masa Raja Mpu Sindok sebagai penerus kerajaan Mataram yang bergeser ke JawaTimur. Naskah tertua kitab Sang Hyang Kamahayanikan ini ditemukan di pulau Lombok pada tahun 1900 Masehi. Naskah ini oleh Prof. Yunboll kemudian dibahas pada tahun 1908, diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh, J.deKatt pada tahun 1940. Setelah itu, naskah tersebut diteliti lagi oleh Prof. Wuff. Kemudian, naskah tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh I Gusti Bagus Sugriwa.

Manusia Indonesia

Polemik Kebudayaan muncul dari perdebatan tokoh-tokoh nasional tentang arah bangsa Indonesia yang dicita-citakan. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam polemik pemikiran di dalam buku Polemik Kebudayaan tersebut adalah Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Dr, Purbatjaraka, Dr. Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr. M. Amir, Ki Hajar Dewantara. Perdebatan-perdebatan tersebut berbicara tentang Kebudayaan Indonesia yang menimbulkan tiga macam polemik. Ketiga polemik tesebut diantaranya mengenai masyarakat serta kebudayaan baru. Mengenai pendidikan nasional (di Indonesia), dan polemik yang membahas tentang peranan pendidikan dalam pembangunan bangsa Indonesia.

Jika dilihat dari arus yang sedang berkembang saat itu, semangat modernitas Barat (Belanda) menjadi idola bagi Sutan Takdir Alisjahbana (STA) di satu sisi. Sementara di sisi yang lain, pembelaan terhadap tradisi dan budaya lama didorong oleh pemikiran Ki Hajar Dewantara, Sanusi Pane, dan Dr. Sutomo.

Tulisan “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” buah karangan STA menyebutkan;


…Indonesia- yang timbul di kalangan bangsa kita, tidak dapat kita lepaskan dari perasaan dan semangat keindonesiaan. Semangat keindonesiaan itu merupakan ciptaan generasi abad kedua puluh, sebagai penjelmaan kebangkitan jiwa dan tenaga. Semangat Indonesia itu sesuatu yang baru, menurut isi dan menurut bangunnya. Semangat Indonesia juga bukan berdasarkan asal bangsa atau ras yang satu, sebagaimana menurut hasil penelitian para ahli Barat….

Anggitan atau sematan kata “Indonesia” menjadi penting untuk pemikiran yang baru dengan cara melepaskan cerita-cerita masa lalu.

Menurut Tuan Sutan Takdir Alisjahbana sebagaimana dikutip oleh Zahra Claudia, kemauan bersatu yang mengandung semangat Indonesia tidak sedikit pun berurat akar ke masa yang silam, tetapi sebaliknya bertumpu ke masa yang akan datang. Tuan Sutan Takdir Alisjahbana meyakini bahasa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang tumbuh sekarang ini terdapat sebagian besar unsur Barat, unsur yang dinamis.

Dengan demikian, menurut Tuan Sutan Takdir Alisjahbana, pada hakikatnya kita peroleh dari Barat. Semangat keindonesiaan semestinya akan melahirkan masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang berbeda dari masyarakat dan kebudayaan pra Indonesia.

Hal demikian dibantah oleh Sanusi Pane. Menurut Pane sebagaimana dikutip oleh Zahra Claudia; Manusia tidak mampu menciptakan kekinian yang baru sama sekali. Hal tersebut sama dengan mengadakan barang dari yang tidak ada.

Menurut Pane, keindonesiaan pada waktu itu pun sudah ada, keindonesiaan dalam adat, dalam seni. hanya bangsa Indonesia belum timbul, orang Indonesia belum sadar bahwa mereka sebangsa. Kebangsaan Indonesia sudah ada semenjak dahulu kala. Sekarang dapat dirasakan serta diwujudkan.

Sanusi Pane menolak sisi sejarah Tuan Sutan Takdir Alisjahbana. Dasar  pendapat Tuan Sutan Takdir Alisjahbana ialah harus belajar pada Barat. Menurut Sanusi Pane, di Benua Barat, orang terpaksa berjuang menaklukan kekuatan alam untuk mempertahankan diri. Hal ini menyebabkan kebudayaan Barat berkembang atas dasar materialisme, intelektualisme, dan individualisme.

Menurut Pane, Barat menjadi sanggup mempertahankan diri, menyelamatkan tubuh jasmani. Namun, ia belum berusaha agar tiap orang dapat selamat sejahtera. Jika diibaratkan dengan orang yang mencari makanan, makanan yang dicari sebenarnya sudah cukup, tetapi pembagiannya belum adil.

Dalam pendapat Pane, Barat bersifat faust, ahli pengetahuan (Goethe). Sedangkan Timur lebih mementingkan rohani sehingga lupa akan jasmani. Akal dipakainya untuk mencari jalan untuk menyatukan diri dengan alam.
Oleh karena itu Timur cenderung bersifat Arjuna yang bertapa di Indrakala. Sehingga menurut Pane, selayaknya manusia Indonesia menguasai dua hal tersebut sekaligus. Akal dan rohani.

Dengan demikian, ada persatuan antara materialisme, intelektualisme, dan individualisme dengan spritualisme, perasaan, dan kolektivisme. Ke arah itulah Indonesia harus menuju, memperkaya (bukan mengubah) dasar kebudayaan.

Bantahan selanjutnya muncul dari Poerbatjaraka, baginya, jalannya sejarah harus diselidiki dan diketahui. Inilah alasannya orang menengok ke belakang. “Janganlah mabuk kebudayaan kuno, tetapi jangan mabuk kebaratan juga. Ketahuilah dua-duanya, pilihlah mana yang baik dari keduanya itu, supaya kita bisa memakainya dengan selamat di hari yang akan datang kelak.”

Dalam hal pendidikan, STA menyebutkan; “…bangsa kita terkenal sebagai bangsa yang hati-hati bahkan sangat berhati-hati, sehingga yang ditakuti adalah apabila seseorang terlalu berhati-hati, ia akan kalah dalam berlomba dengan orang yang lebih berani dalam menerima resiko atas segala perbuatannya….”

Menurut STA, orang Indonesia terlalu cepat mengedepankan ketakutan, kekhawatiran, serta meneriakannya. Padahal sebenarnya belum perlu cemas dan takut akan bahaya intelektualisme, individualisme, egoisme, dan materialisme, karena bahaya itu adanya di dunia Barat. Kepentingan bangsa Indonesia yang pertama adalah membangun kecerdasan, menghidupkan individu, membangkitkan kesadaran akan kepentingan sendiri, serta mendorong orang untuk berkerja keras dan berjuang untuk kehidupan yang layak.

Bagi Dr Sutomo, kecerdasan saja bagi orang Indonesia tidaklah cukup. “…sebaiknya perguruan nasional jangan mementingkan kecerdasan otak belaka, karena otak itu hanya salah satu -instrumen- dari adanya ‘aku’…..”

Menurut Dr. Sutomo, masyarakat kita memerlukan pemimpin yang memiliki perasaan “aku” yang tidak terbatas sehingga kesulitan, kesedihan, kemelaratan, penghinaan, kekecewaan, dan lain sebagainya ikut diderita oleh pemimpin bangsa kita, yang ber”aku” besar itu.

Baginya, diharapkan adanya kaum “ksatria” di tengah masyarakat sebagai pahlawan yang mau menjalankan kewajiban, tanpa mengharap “upah” dari pekerjaannya.

Mesti Diimbangi Epistemologi

Perdebatan Polemik Kebudayaan yang dipicu oleh STA beserta tokoh-tokoh nasional kala itu memperjelas arah dan arus perjalanan bangsa Indonesia yang ditegaskan dengan ciri dan identitas manusia Indonesia yang cenderung diam di dalam menghadapi masalah di satu sisi. Sementara di sisi yang lain, Dr Soetomo menganggap diamnya orang Indonesia tersebut bukan berarti pasif, melainkan positif sebagai adab.

Begitu pula dalam hal perjalanan sejarah, STA beranggapan perlu pemutusan tali sambung terhadap masa lalu, karena orientasi kekinian bertalian dengan masa depan. Sebaliknya, Sanusi Pane berpendapat masa lalu harus menjadi titik tolak untuk mereka masa depan.

Bagi saya, sebenarnya diperlukan tali sinambung dan perkawinan yang jelas. Barat tidak sepenuhnya jahat, pun timur tidak sepenuhnya buruk dan terbelakang. Epistemologi (asal usul dan kritik pengetahuan) menjadi penting. Mengingat, budaya pada hakikatnya lahir dari beberapa unsur pembentuk, baik yang datang maupun yang memang menjadi ciri khas dan identitas manusia Indonesia.

Memahami manusia Indonesia meski tidak sepenuhnya sebagai masyarakat bahari yang terbuka, juga sekaligus menghargai kehidupan daratan dengan menyadari ekses-ekses negatif dari yang ditinggalkannya.

Mereka orang-orang yang akrab dengan kebebasan, kesetaraan, toleransi-akseptansi, persaudaraan, kosmopolitan, interkultural dan multikultural. Nilai-nilai inilah yang sangat kental dengan masyarakat bahari Nusantara, dan merupakan realitas adab sebagai bangsa, serta karakter sejati bangsa Indonesia. Nilai-nilai kebaharian semacam itulah yang membentuk budaya primordial atau original suku-suku bangsa di Nusantara. Dalam bahasa modern, nilai-nilai itulah yang disebut liberte, egalite, fraternite, open-minded, melting society, dan seterusnya, yang notabene adalah nilai-nilai dasar demokrasi.

Penulis :

M. Sakdillah (author, director, and culture activities).

Sumber :

https://www.watyutink.com/opini/Gelombang-Kebudayaan-Barat-Dilawan-dengan-Sayup-sayup

https://www.watyutink.com/opini/Budaya-Kontinental-Menggerus-Budaya-Bahari-Kita
https://hystoryana.blogspot.com/2018/03/madzhab-tantrayana-dalam-kitab-sang.html

https://www.academia.edu/24491695/Analisis_Buku_Polemik_Kebudayaan

Categories: Followers

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *