Ada banyak tokoh sejarah dari kalangan ulama yang enggan untuk dipublikasikan di khalayak sampai matinya sehingga sangat sedikit informasi-informasi yang bisa didapat. Walhasil, cerita-cerita lisan yang ditinggalkan pun menjadi simpang siur. Hal ini sebenarnya sangat merugikan karena teladan-teladan yang diwariskan kepada generasi berikutnya menjadi tidak lengkap dan penuh dengan mitologi.

Ada beberapa alasan dikemukakan, salah satunya enggan untuk populer. Anggapan masyhur di langit, tapi tidak masyhur di bumi adalah salah satu etika yang sering dikemukakan. Namun demikian, kehendak generasi berikutnya untuk mengenal dan meneladani sang tokoh tak pernah padam. Informasi-informasi yang digali, kendati tidak terlepas dari spekulasi, terus dilakukan. Misalnya, sejarah tentang Walisongo. Secara faktual, sejarah tersebut masih bersifat lisan dan sedikit tertulis dan diceritakan di dalam babad-babad.

Lalu, upaya apa yang harus ditempuh agar cerita penting sosok sang tokoh dapat dipelajari dan diteladani, sehingga garis-garis keilmuan dan pengalaman masa lalu tetap bisa digunakan sebagai khazanah yang berharga?

Secara historis, sejarah-sejarah pada umumnya diambil dari bukti-bukti fisik berupa artefak, situs, bahkan karya-karya pujangga melalui cerita-cerita yang ditulis. Namun, anggapan bukti-bukti fisik dapat memanipulasi bahkan menyembunyikan peristiwa sebenarnya menjadikan tafsir-tafsir sejarah menjadi simpang siur pula. Ditambah, terdapat bukti-bukti sejarah yang kabur atau sengaja dikaburkan. Walhasil, keyakinan-keyakinan yang bersifat dogmatis kian menjadikan mitologi tetap berkuasa pada pandangan masyarakat. Belum lagi, sentimen-sentimen yang terbangun antar kelompok dan daerah menjadikan klaim-klaim yang luput dari situasi ketika peristiwa tersebut berlangsung.

Menghadirkan sosok sejarah ke dalam dunia kekinian menjadi salah satu topik yang menarik guna merekonstruksi penyimpangan-penyimpangan terhadap tafsir-tafsir sejarah. Dengan menghadirkan bukti-bukti lain secara kontekstual sebagai saksi-saksi sejarah. Di satu sisi, saksi-saksi sejarah semisal orang yang hadir sezaman dengan tokoh sejarah tersebut. Namun, akan lebih sangat tidak mungkin, jika kemudian saksi-saksi sezaman tersebut juga tidak ada.

Membaca sejarah Walisongo menjadi kabur, tatkala peninggalan-peninggalan hanya berupa artefak-artefak dan situs makam. Ditambah dengan cerita rakyat secara turun-temurun. Dukungan cerita babad yang ditulis oleh kalangan istana, tanpa bermaksud mengabaikan korelasinya, dengan tidak mencantumkan waktu dan tempat telah menjadikan otentisitas cerita-cerita babad juga patut dipertanyakan. Begitu pula, pada memori-memori yang terdapat dalam ingatan kolektif masyarakat, tidak serta merta dapat dijadikan bukti sejarah yang otentik.

Sebagian sarjana masih meyakini, tulisan-tulisan dari luar, semisal dari bangsa Eropa, Arab, dan China dapat dijadikan bukti sandaran guna menulis sosok sejarah yang hilang. Sejarah dapat direkonstruksi dari berita-berita yang dihadirkan. Meskipun dalam bentuk tesis-tesis sementara yang bisa diperbaiki di kemudian hari. Namun, hegemoni dan penyeragaman yang terjadi menimbulkan kontroversi yang juga tidak berkesudahan, karena turut melahirkan beberapa teori-teori.

Kembali kepada manusia sebagai sosok sejarah dapat diikuti dari perkembangan ilmu-ilmu arkeologi dan antropologi. Watak dan ciri yang menjadikan sosok sejarah sebagai manusia yang pernah hadir pada situasi, tempat, dan waktu tertentu. Ciri-ciri tersebut dapat diceritakan latar belakang sosial, ekonomi, bahkan politik pada masanya. Misal, kehidupan agraris pada momen Mpu Sindok dan Airlangga dapat dilihat dari sudut geopolitik di seputaran Kali Brantas. Begitu pula kehidupan maritim yang melatari kehidupan Walisongo melalui persentuhan dunia luar, baik secara ekonomi, sosial, dan politik. Serta, kehidupan dan tatanan dan sistem masyarakat yang telah terbentuk pada masa sebelumnya. Sebab, kehadiran Walisongo dalam kancah sejarah Nusantara tidak serta merta hadir tanpa dilatari oleh tatanan dan sistem kehidupan sebelumnya, Majapahit.

Konstruksi sejarah rural acap dikaitkan ke dalam sebuah narasi yang terbangun dan menjadi memori kolektif masyarakat tertentu. Ada banyak artefak dan situs peninggalan pada nama yang sama di berbagai tempat berbeda. Hal ini membingungkan pembaca sejarah. Seperti beberapa nama Syekh Jumadil Kubro di berbagai tempat atau Walisongo itu sendiri. Makam Sunan Bonang bisa dijumpai di berbagai tempat seperti di Tuban, Pulau Bawean, Lasem, bahkan Cirebon. Kesimpulan sementara masyarakat menganggap dan saling klaim tentang otentisitas makam tersebut. Sementara yang lain beranggapan hanya sekadar petilasan.

Demikian banyak problematika sejarah yang akan diangkat sebagai sosok yang mati memerlukan konsentrasi tersendiri di dalam penjabarannya.

Yogyakarta, 15 Agustus 2019.

Categories: Khazanah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *