Tidak dapat disangkal, beberapa negara, baik di Afrika maupun di Asia, berpenduduk muslim mayoritas. Sehingga dorongan untuk membuat formulasi sistem ekonomi secara “Syariah” menjadi salah satu topik yang menarik untuk dibahas secara tuntas, di samping isu isu politik (siasat) dan peradaban. Namun demikian, diskusi diskusi dengan tema tema tersebut belum menemukan titik temu yang solutif sehingga terkesan hanya mengulang ulang dari kasus dan problematika yang sama. Dengan kata lain, umat Islam belum sepenuhnya sepakat di dalam menentukan arah realitas yang sedang dan terus berkembang, sehingga membawa dampak yang bukan saja negatif, melainkan juga stagnan di dalam merespon perubahan.
Studi kawasan atau geologis menjadi satu pandangan penting di dalam merespon perubahan tersebut. Formulasi fiqh yang sering diabaikan karena dianggap kaku dan beku belum memberikan jawaban jawaban yang memuaskan bagi mayoritas umat Islam sehingga diperlukan suatu terobosan terobosan penting dari aspek aspek lain seperti akidah dan syariah. Namun demikian, baik formulasi akidah maupun syariah pun belum memberikan jawaban jawaban yang memuaskan selain memberikan label label yang cenderung bersifat Arab sentris. Sebuah produk belum dianggap “Islami” selama tidak melabelkan diri dengan simbol simbol kearaban, seperti bahasa, gaya hidup, maupun merek merek produk industri, sehingga sulit dibedakan antara budaya Arab dan agama Islam.
Tarikh Tasyri’
Studi kawasan atau dalam peristilahan teoretik yang dikemukakan di dalam buku ini adalah persoalan “pemahaman” yang mendasarkan pada sebuah hadis Muaz bin Jabal ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, sebagaimana pemahaman atau fiqh adalah persoalan darurat (urgent) dalam kehidupan umat Islam, terutama di Indonesia.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى ا ليَمَنِ، فَقَالَ: «كَيْفَ تَقْضِي؟»، فَقَالَ: أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ، قَالَ: «فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟»، قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟»، قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي، قَالَ: «الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ[1]
Nabi mengutus Muaz ke Yaman. Maka Nabi Saw bertanya kepadanya, “Bagaimana kamu akan memutuskan hukum apabila dibawa kepada kamu sesuatu permasalahan?” Muaz menjawab, “Saya akan memutuskan hukum berdasarkan kitab Allah.” Nabi Saw bertanya lagi, “Sekiranya kamu tidak mendapati di dalam kitab Allah?” Jawab Muaz, “Saya akan memutuskan berdasarkan Sunnah.” Tanya Nabi Saw lagi, “Sekiranya kamu tidak menemui di dalam Sunnah?” Muaz menjawab, “Saya akan berijtihad dengan pandanganku.” Nabi pun bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah.”
Hadis Muaz bin Jabal tersebut sering dijadikan sandaran bagi kalangan fuqaha (yurispruden) untuk melegitimasi ra’y di dalam merespon realitas dan perubahan masyarakat, meskipun dengan cara yang berbeda beda. Ra’yu bagi sebagian kalangan sering diartikan akal dalam arti luas sebagaimana pengertian “ijtihad”. Ironisnya, metode dan pendekatan sering dianggap tidak penting, padahal umat Islam Indonesia di dalam realitasnya telah mentradisikan fiqh sebagai batu pijakan dalam melaksanakan hajat hidup bersama, dari penyelenggaraan ibadah, muamalah, sosial, politik, dan budaya.
Perjalanan akhir dari sejarah syariat Islam pada pokok Al Quran dan Sunnah sebagai sumber segala sumber hukum bagi umat Islam adalah melalui tahapan yang sudah sangat maju, berupa produk perundang undangan (qanun) dan pendapat pendapat ulama (fatwa). Produk produk tersebut sudah sangat melimpah sehingga memerlukan reformulasi dan rekonstruksi di dalam pelaksanaan pelaksanaan dan penyelenggaraan cara hidup masyarakat, terutama di Indonesia.
Bagi warga NU, sandaran sandaran utama di dalam pelaksanaan pelaksanaan dan penyelenggaraan cara hidup masyarakat tersebut memiliki batasan batasan yang ketat sebagaimana telah disebutkan di dalam Qanun Asasi NU, bermazhab empat melalui Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Pada praktek implementasinya dikembalikan kepada kitab kitab otoritatif yang sudah disepakati dan menjadi pegangan bersama, Al Kutub Al Mu’tabarah.
Namun demikian, hal tersebut tidak cukup memuaskan sehingga memerlukan pandangan pandangan teoretik di dalam implementasi selanjutnya, berupa temuan temuan filosofis yurisprudensi yang termuat di dalam beberapa teori semisal istihsan, maslahah, sadd al dzara’i, dan lain lain. Pada penekanan studi kawasan berikut di dalam buku ini menggunakan praktek praktek maslahah agar dapat dipahami dan menjadi pertimbangan bagi studi studi lanjutan. Dengan kata lain, pertimbangan pertimbangan normatif, baik tektual maupun kontekstual, dapat dikongruenkan dengan temuan temuan baru di berbagai bidang kajian semisal praktek praktek umum perbankan, muamalah via online, industri kelautan, maupun kerjasama bilateral di dalam kawasan ASEAN dan sekitarnya.
Hal ini dipandang penting, mengingat
praktek praktek umum tersebut sering dianggap sebagai tidak Islami karena
sering muncul dari kalangan umat Islam sendiri, terutama warga NU. Praktek
praktek tersebut sering dianggap sebagai buah dari sekularisme yang otomatis
tidak Islami. Padahal, sudah menjadi bagian integral dan penting di dalam cara
hidup masyarakat, baik cara pandang (worldview)
maupun prakteknya.
[1] Riwayat Ahmad dalam Musnad (22007) (22061) (22100), Abu Daud (3592), Al-Tarmizi (1327), dan lain-lain.
K.H. Uki Marzuki Sholihin, penulis buku Syariat Islam: Fiqh Geologis dan Geografis Menurut Ahlu Al Sunnah wa Al Jama’ah; Sekretaris Umum LESBUMI PBNU.