Manusia memang unik. Dari keunikan tersebut, manusia dapat menghasilkan kreasi kreasi yang bermanfaat bagi alam dan seisinya. Namun demikian, dalam menemukan keunikan tersebut, tidak jarang harus terrsungkur dan terjerembab terlebih dahulu ke dalam jurang kesalahan kesalahan. Hal itu wajar karena manusia tak luput dari salah dan dosa, perlu trial and error dalam mengimplementasikan pikiran pikiran yang abstrak ke dalam bentuk abstrak.

Mencari Jalan Tuhan

Asep Kusnadi, sarjana sejarah dan pendidikan, telah cukup lama bergelut di dalam di bidang yang diminati olehnya. Ia tidak saja belajar teori an sich selayak sarjana, namun lebih jauh merambah ke dalam eksistensi diri.

Bagi Asep, eksistensi diri perlu untuk mengenal Tuhan Sang Pencipta. Eksistensi demikian ia sebut sebagai eksistensi “lillah”, karena tidak bisa lepas dari eksistensi gerak.

Manusia pada dasarnya sebagai makhluk sejarah akan menjalani proses proses sejarah, baik secara circle maupun secara linear. Namun baginya, sejarah itu berjalan linear, lurus, karena tidak mungkin berjalan mundur atas pengulangan pengulangan. Pada tataran hakikat, manusia akan kembali kepada Sang Pencipta, Allah Azza wa Jalla.

Berbicara tentang gerak bagi Asep tentu tidak terlepas dari faktor energi. Energi bisa saja dibahasakan ke dalam beragam sebutan dan nama. Energi tersebut yang menarik ke tempat yang manusia sendiri tidak tahu. Walhasil, energi dapat saja bergerak dengan sendiri atau digerakkan oleh yang menggerakkan.

Budaya Ibu

Energi terbesar secara manusiawi tentu adalah ibu. Ibu telah mencurahkan dan memberikan kasih sayang yang melimpah. Kekayaan ibu tak bisa dibahasakan secara leksikal selama tidak dirasakan sebagaimana ingin mengenal Tuhan. Ibu seperti ada dan tiada dalam eksistensinya. Namun, ia ada.

Bukan sebuah implikasi untuk menyetarakan ibu dan Tuhan. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla yang tidak terikat oleh ruang dan waktu. Namun, energi yang disampaikan oleh seorang ibu laksana magnet yang tak tampak oleh mata. Getaran itu ada. Daya tarik itu ada. Tapi, tidak serta merta bisa merupa ke dalam bentuk yang nyata.

Eksistensi ibu dan energinya akan memberi sebuah manifes manifes yang mewujud. Ibu di satu sisi bisa hilang tenggelam dari eksistensi seorang anak. Namun, adanya seperti tiadanya. Adanya seperti tiadanya.

Pada kesimpulan budaya ibu dapat ditarik sebagaimana kerendahhatiannya, kelemahlembutannya, kesabarannya, kepasrahannya, dan seterusnya. Eksistensi energi enggelombang dalam perjalanan menuju sebuah perhentian yang tak dapat ditandai dengan sebuah batas batas tertentu.

Categories: Sosialita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *