“Rasulullah bersabda: barang siapa yang mencari harta benda yang halal agar dapat menjaga dirinya jangan menjadi peminta-minta dan berusaha demi keluarganya dan agar dapat membagi kasih sayangnya kepada tetangganya maka orang itu akan bertemu pada Allah SWT dalam keadaan wajahnya bersinar bagai rembulan purnama. Rasul juga bersabda bahwa: pedagang yang jujur akan dibayar pada hari kiamat nanti bersama pada shiddiqin dan syuhada.”
Deklarasi Nahdlatut Tujjar, Soerabaia, 1918.[1]
Bisnis semata bisnis tidak diperintahkan dalam ajaran agama Islam. Bisnis dan usaha usaha lainnya harus dilandasi dengan ketakwaan dan keimanan. Hal ini menjadi landasan filosofis, Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari di dalam membangun koneksitas bisnisnya. Membangun sebuah kepercayaan publik melalui koperasi yang diberi nama “Syirkatu al ‘Inan”.
Hal tersebut dilatarbelakangi oleh sejarah yang melingkupi situasi dan kondisi masyarakat di sekitar Jawa Timur (Surabaya, Jombang, dan Kediri). Pada masa itu, Pemerintah “Kolonial” Hindia Belanda sedang mengalami kemajuan industri. Di berbagai tempat, mereka mendirikan pabrik pabrik gula, kopi, teh, karet, sawit, dan lain lain. Pabrik pabrik milik Pemerintah Hindia Belanda tersebut di satu sisi telah menyerap tenaga kerja dari rakyat pribumi dengan upah standar buruh. Begitu pula pegawai pegawai untuk jawatan pemerintahan dan transportasi kereta api.
Maklumat yang diserukan oleh
Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari pada saat itu menginginkan keterlibatan kaum
kaum terpelajar dan guru guru agama untuk turut berpartisipasi mendirikan sebuah
kongsi usaha koperasi. Rasa peduli Hadratussyekh terhadap saudara sebangsa dan
setanah air tidak sekali dua dikumandangkannya. Dengan seruan seruan agama,
Hadratussyekh mengingatkan prinsip prinsip bagi yang peduli kepada ekonomi
kerakyatan tersebut.
Bisa dikatakan sebuah revolusi (tsaurah) terhadap keadaan agar rakyat turut sejahtera di dalam
mengenyam jerih payah mereka. Tidak semata menukar keringat dan tenaga hanya
mendasarkan diri pada kesenangan dunia. Kaum terpelajar dan guru guru agama
tidak bisa menjadi elit yang mengasingkan diri dari himpitan ekonomi yang
diderita rakyat. Harus ada kerjasama (al
ta’awun) untuk menghadapi realitas hidup bermasyarakat dengan bergotong
royong.