Saya memiliki asumsi: susastra pesantren tidak pernah mati, ia menjadi alat paling efektif dalam menghimpun imajinasi sosial ketika sastra masih dinaungi oleh agenda kolonialisme dan sejenisnya. Bagaimanapun sejak umat Islam mulai berdatangan dan memeluk agama Islam, pesantren tidak pernah terlepas dari aktivitas-aktivitas kesusastraan. Bahkan, susastra pesantren cenderung direduksi kepada sastra Islami yang secara praktek sosialnya berbeda. Sebagaimana sastra Islami mengedepankan dakwah yang memanfaatkan ranah sastra untuk menyampaikan ide-ide Islam, sementara susastra pesantren adalah jalan mencapai pengetahuan, penghayatan, dan pengamalan agama secara lebih intensif.
Sastra peranakan ini diidentikkan kepada sastra-sastra yang dikembangkan oleh kalangan peranakan dari suku bangsa China yang hidup di Indonesia. Pada masa Orde Baru, sastra peranakan banyak yang diberangus. Tersebab, China identik dengan gerakan komunisme. Semua warga keturunan atau peranakan terpaksa mengganti nama asli mereka dengan nama yang lebih Indonesia.
Begitu pula pada aspek sastra. Koran-koran dan buku-buku yang ditulis oleh kalangan peranakan banyak yang menjadi incaran untuk ditiadakan. Padahal, dari aspek budaya, sastra peranakan telah turut memperkaya khazanah sejarah dan budaya Indonesia.
Susastra PesantrenPesantren berpacu kepada perubahan masyarakat yang intensif. Pesantren adalah garda terdepan dalam menghadapi koloni Belanda yang hendak mendirikan negara. Pesantren menjadi inspirasi penting dalam menentang kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda.
Susastra pesantren dimulai sejak umat Islam mengenal kitab suci Al-Qur’an yang diturunkan dengan menggunakan bahasa susastra. Banyak ilmu-ilmu yang dilahirkan dari kitab suci Al-Qur’an. Mulai dari kodifikasi, hukum, bahkan teknologi dan astronomi.
Pada prakteknya, tarekat yang terlahir dari budaya pesantren adalah gerakan sosial yang mampu melakukan perubahan-perubahan. Tarekat mampu mendorong masyarakat menjadi lebih tertib di dalam menghayati, memahami, dan mengamalkan agama. Sehingga tidak sedikit susastra yang lahir dari jalur ini, tarekat.
Kepedulian Sartono KartodirdjoDalam catatan Seno Joko Suyono (2021), Sartono Kartodirdjo (1921-2007) adalah sejarawan besar yang memiliki kepedulian terhadap susastra pesantren. Ia adalah seorang Katolik yang saleh. “…siapapun tahu adalah tonggak sejarawan modern Indonesia. Ia yang memelopori sebuah pendekatan yang menolak histiografi dengan perspektif kolonial sentris. Ia melihat sejarah lebih dari perspektif lokal. Perspektif Indonesia sentris yang menempatkan orang kita sendiri sebagai pelaku utama, bukan pemerintah Hindia Belanda,” demikian tulis Seno Joko Suyono.
Bagi Sartono, membesarkan peran elite dalam sejarah bisa menjadi alat legitimasi kekuasaan. Ia aktif menyuarakan: ”orang biasa” adalah juga penggerak sejarah tanah air. Ia menolak menempatkan petani sebagai “les peoples sans histoire”.
Sartono berusaha merekonstruksi dan menguraikan penyebab peristiwa bersejarah pemberontakan petani Banten (1888) berlangsung. Ia konsisten berkeyakinan: “tidak ada sebuah kelompok pun yang paling berjasa membentuk sejarah Indonesia.” Hal ini tidak sejalan dengan pandangan almarhum Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nugroho Notosusanto, yang “menempatkan militer sebagai unsur paling dominan dalam politik modern kita, Sartono menolak.”
“Sartono melengkapi pendekatan sejarah dengan pendekatan sosiologis, psikologi dan sebagainya bahkan mempertimbangkan bagaimana kepercayaan masyarakat terhadap mitologi-mitologi lokal. Sejarah adalah multi aspek dan multi kausal. Sejarah tidak bisa dipahami dari satu sudut saja.”
Dalam disertasinya, Sartono mengungkapkan “bagaimana Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Wasid, Haji Marjuki – para ulama tarekat Qadiriyah itu, pada suatu hari—tepatnya 9 Juli 1888. menggerakkan petani Banten menyerbu pos-pos pejabat Belanda di Cilegon.”
Penulis: Goesd