Sejarah manusia Nusantara tidak terlepas dari perjalanannya sejak dari masa-masa belum mengenal pengetahuan karena sangat terbatas sampai kini dengan limpahan-limpahan teknologi virtual. Namun, pada hakekatnya, memiliki kesamaan di dalam keinginan untuk mengungkapkan realitas di balik realitas (hiperrealitas). Banyak hal dilakukan, termasuk melakukan upaya-upaya di luar keterbatasan (logika maupun tenaga).

Manusia Nusantara yang ditemukan di wilayah timur Indonesia, mulai dari Sulawesi hingga Papua, adalah dianggap paling tua karena sudah mengenal teknologi. Terutama, teknologi dan peralatan-peralatan kelautan. Sementara di pulau Jawa dan Sumatera terdapat jejak-jejak manusia purba, mulai dari Homo Sapiens (belum mengenal akal) hingga Homo Erectus (sudah mengenal akal dalam bentuk kebudayaan sederhana). Homo Erectus merupakan manusia yang sudah mengenal teknologi sederhana seperti peralatan-peralatan pertanian.

Punden Berundak adalah sebuah situs masa lalu manusia Nusantara dalam mengejawantahkan, mewujudkan, atau merealisasikan keterbatasan-keterbatasan ide dan akal. Melalui Punden Berundak, manusia Nusantara memiliki cara dan wahana untuk mencapai hiperrealitas yang tak terjangkau. Mereka hanya mampu menjangkau pada alam sederhana seperti pohon, batu, sungai, dan orang-orang tua mereka.

Kata “pundèn” diambil dari kata pundian yang berasal dari bahasa Jawa. Kata pepundèn yang berarti “objek-objek pemujaan” dapat berarti pula kabuyutan pada masyarakat Sunda. Punden Berundak merupakan wilayah atau wahana yang dipegang manusia Nusantara untuk memuja dan mengingat para leluhur yang berada pada tempat-tempat tertinggi seperti puncak gunung atau “meru”. Dengan demikian, istilah Punden Berundak menegaskan fungsi pemujaan/penghormatan atas leluhur, bukan sekadar struktur dasar dan tata ruang sebuah bangunan atau situs peninggalan.

Pada prakteknya, fungsi bangunan atau situs Punden Berundak memiliki peranan sebagai tempat penguburan dan pemujaan misalnya dolmen, peti kubur batu, balik batu, sarkofagus, kalamba atau bejana batu, waruga, batu kandang, atau batu temu gelang.

Selain Punden Berundak terdapat pula arca megalitik, menhir, patung, batu saji, batu lumpang, lesung batu, batu dakon dan lain-lain.

Soejono sebagaimana telah dikutip oleh I Wayan Pardi dalam “Eksistensi Punden Berundak di Pura Candi Desa Pakraman Selulung, Kintamani, Bangli (Kajian Tentang Sejarah dan Potensinya Sebagai Sumber Belajar Sejarah)” menyebutkan;

“Peninggalan tradisi megalitik di Desa Pakraman Selulung sudah ada sebelum agama Hindu masuk ke wilayah tersebut dan diduga bahwa di desa-desa pegunungan di Bali tradisi megalitik masih tetap utuh hingga masuknya peradaban Hindu dan kemudian berkembang berdampingan dalam situasi yang baik atau berkembang ke arah penyatuan yang
harmonis.”

Dengan demikian, eksistensi Punden Berundak menurut I Wayan Pardi memiliki aspek-aspek yang dapat dikembangkan sebagaimana aspek bentuk fisik bangunan, aspek historis, aspek gotong royong dan kebersamaan, serta aspek religius yang menjadi fondasi berpikir dan berkeyakinan manusia Nusantara. Pada aspek-aspek tersebut, Punden Berundak merupakan cara manusia Nusantara mengenal aspek hiperrealitas sebelum datangnya unsur-unsur dari luar seperti Hinduisme dan Buddhaisme yang masih berpengaruh dan berakar kuat dalam pikiran dan akal manusia Nusantara.

Categories: BeritaKhazanah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *